Hotel Aceh, Saksi Sejarah Sumbangan Aceh untuk Indonesia

 

“Bak tempat nyoe geupeudong Hotel Aceh, teumpat singgahan Presiden Soekarno watee geusaweu Aceh lam buleuen Juni 1948. Di Hotel Aceh nyoe Presiden Soekarno sira geumoe geulakee bantuan rakyat Aceh beujeut geubri kapal teureubang guna keupeuntengan diplomasi Neugara Indonesia. Ban dua boh kapal teureubang nyan teuma geuboh nan Seulawah 01 ngon Seulawah 02.”

(Di lokasi ini pernah berdiri Hotel Aceh tempat Presiden Soekarno singgah dalam undangannya ke Aceh pada Juni 1948. Di hotel inilah Soekarno sambil menangis tatkala meminta rakyat Aceh untuk membantu membeli pesawat guna kepentingan diplomatik Indonesia. Kedua pesawat sumbangan rakyat Aceh kemudian diberi nama Seulawah 01 dan Seulawah 02.)

16 Juni 1948. Bangunan hotel tua di samping Masjid Raya Baiturrahman itu dipenuhi oleh para tokoh penting nasional dan Aceh. Presiden Soekarno yang baru saja memberikan pidato dalam defile militer di Lapangan Blang Padang kini menemui para saudagar Aceh dalam sebuah perjamuan makan di ruangan aula hotel. Soekarno menjelaskan betapa transportasi udara sangat dibutuhkan untuk menghubungkan daerah-daerah di Indonesia yang kondisi geografisnya berpulau-pulau serta banyak hutannya. Kepada para saudagar Aceh, ditawarkan untuk membantu pembelian pesawat terbang terbaik buatan Amerika, yaitu Dakota seri DC-3 (sipil) atau C-47 (militer), yang harganya setara 25 kilogram emas.

Suasana perjamuan itu tiba-tiba menjadi senyap. Hidangan yang tersaji tak juga disentuh oleh Soekarno, meskipun sudah dipersilakan berkali-kali untuk makan. “Saya tidak akan makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul,” kata Soekarno, sambil menunjukkan sebuah miniatur pesawat Dakota. “Saya berharap agar pesawat model yang terbuat dari kayu ini lekas menjelma menjadi pesawat terbang sungguhan.”

Sebelum berangkat ke Aceh, Soekarno membawa sejumlah miniatur pesawat buatan Wiweko Soepeno, Kepala Biro Rencana dan Konstruksi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).  Kunjungan Soekarno ke Aceh adalah bagian dari aksi penggalangan dana yang diajukan Kepala Staf AURI Komodor Suryadi Suryadarma. Dalam buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 diceritakan, kampanye pengumpulan Dana Dakota dilakukan di seluruh Sumatera, mengingat kekayaan alamnya yang luar biasa dan dukungan para saudagar terhadap kemerdekaan Republik. Sementara pulau-pulau di kawasan timur Indonesia dalam kondisi diblokade oleh Belanda.

Di Aceh, kalangan saudagar menyambut antusias kunjungan perdana Soekarno ke ujung barat wilayah Republik tersebut. Dalam buku Modal Perjuangan Kemerdekaan (Perjuangan Kemerdekaan di Aceh) 1947-1948 Buku II, Soekarno mempersilakan para saudagar untuk memberi nama pesawat terbang yang didanai tersebut. “Bagi yang terbanyak menyerahkan uang tersebut hari ini akan diizinkan untuk joy flight di atas Kutaraja dengan pesawat kita di bandara Lhok Nga,” kata Soekarno.

Dalam buku Aceh Daerah Modal, diceritakan bahwa para saudagar yang hadir memenuhi aula itu saling melirik, siapa yang hendak memulai. Tanggapan pertama datang dari pemuda berusia 30 tahun bernama Djuned Joesoef, yang tidak lain adalah ketua Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA). Para saudagar lain pun menyusul, hingga tercukup dana dalam jumlah besar. Melihat hasil pengumpulan dana itu, Soekarno tersenyum berseri-seri, dan mengajak hadirin beranjak ke meja makan. Aksi pengumpulan kemudian dikoordinasikan dalam Dakota Fund, yang dipimpin Djuned bersama Said Muhammad Daud Alhabsyi.

Total terkumpul sebanyak 130.000 Straits Dollar dan emas 20 kilogram, atau cukup membeli dua pesawat Dakota. Dana tersebut dibelikan pesawat dari India, yang kemudian diberi nama Seulawah RI-001 sebagai penghormatan kepada masyarakat Aceh. Pesawat tersebut tiba di Tanah Air pada akhir Oktober 1948, yang kemudian berjasa besar menjembatani antara pemerintah pusat di Yogyakarta dengan pemerintahan darurat di Suliki (Bukittinggi) dan Kutaraja (Banda Aceh). Konon pesawat kedua gagal dibeli, karena pesawat RI-002 yang diawaki pilot Amerika Bobby Freeberg hilang dalam penerbangan di Lampung dengan membawa muatan emas, baru ditemukan reruntuhannya pada 1978.

Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II bulan Desember 1948, pesawat Seulawah RI-001 yang sedang melakukan perawatan berkala di Kalkutta India tidak bisa kembali. Pesawat itu kemudian diterbangkan ke Rangoon Burma, melayani carteran melalui perusahaan Indonesian Airways, cikal-bakal maskapai nasional Garuda Indonesia. Pesawat baru kembali pada pertengahan 1949, mendarat di Blang Bintang dengan membawa senjata, amunisi dan alat komunikasi dari Burma, atau sekarang Myanmar.

Selama beroperasi di Burma, Indonesia Airways berhasil menambah dua lagi pesawat Dakota dengan nomor registrasi RI-007 dan RI-009, salah satunya kemudian disumbangkan kepada pemerintah Burma. Tanggal dimulainya operasional Seulawah RI-001 di Burma, yakni 26 Januari 1949, kini diperingati sebagai hari jadi Garuda Indonesia.

Semua itu dimulai dari Hotel Aceh, sayangnya saksi sejarah itu terbakar pada 1997. Kini tersisa tiang-tiang warna-warni yang menandai tempat berdiri Hotel Aceh. Di lokasi bersejarah itu Doto Zaini Abdullah bersama Nasaruddin akan mengumumkan pencalonannya dalam Pemilihan Gubernur Aceh 2017, untuk mengingatkan kembali komitmen dan sumbangan penting Aceh untuk Indonesia.

Sumber: http://www.atjehcyber.net/2011/12/hotel-aceh-dan-perjamuan-yang.html?m=1

0 Response to "Hotel Aceh, Saksi Sejarah Sumbangan Aceh untuk Indonesia"

Post a Comment